Posts from the ‘1’ Category

IMPLIKASI KONSEP TENTANG “LEMBAGA NEGARA” TERHADAP KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNTUK MENGADILI SENGKETA ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIBENTUK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR

abstrak

putusan_sidang_PutusanNomor028-029PUUIV2006tgl120407ttgPJTKI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang  :  bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.

Mengingat    : 1.   Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.   Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

3.   Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

4.   Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

5.   Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

6.   Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4816);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  4. Wilayah provinsi adalah wilayah administrasi yang menjadi wilayah kerja gubernur.
  5. Koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua instansi vertikal tingkat provinsi, antara instansi vertikal dengan satuan kerja perangkat daerah tingkat provinsi, antarkabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, serta antara provinsi dan kabupaten/kota agar tercapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.
  6. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.
  7. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara efisien, efektif, berkesinambungan serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB II

KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG

Pasal 2

(1)   Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi.

(2)   Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

(3)   Gubernur dilantik oleh Presiden.

(4)   Dalam hal Presiden berhalangan melantik gubernur, Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden melantik gubernur.

Pasal 3

(1)   Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan meliputi:

  1. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal, dan antarinstansi vertikal di wilayah provinsi yang bersangkutan;
  2. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
  3. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antarpemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
  4. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
  5. menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  6. menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan kehidupan demokrasi;
  7. memelihara stabilitas politik;
  8. menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah; dan
  9. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

(2)   Selain melaksanakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah juga melaksanakan urusan pemerintahan di wilayah provinsi yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki wewenang meliputi:

  1. mengundang rapat bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal;
  2. meminta kepada bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat;
  3. memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji;
  4. menetapkan sekretaris daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  5. mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
  6. memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
  7. menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraaan fungsi pemerintahan antarkabupaten/kota dalam satu provinsi;

dan

  1. melantik kepala instansi vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah provinsi yang bersangkutan.

BAB III

TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

Pasal 5

(1)  Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal dan antarinstansi vertical di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a melalui:

  1. musyawarah perencanaan pembangunan provinsi; dan
  2. rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi, serta penyelesaian berbagai permasalahan.

(2)  Musyawarah perencanaan pembangunan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)  Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 6

(1)  Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas gubernur dalam mewujudkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta stabilitas daerah bagi kelancaran pembangunan daerah dibentuk forum koordinasi pimpinan daerah.

(2)  Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas gubernur, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.

(3)  Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdiri atas Gubernur, Wali Nanggroe, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.

(4)  Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Papua terdiri atas Gubernur, Ketua Majelis Rakyat Papua, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.

(5)  Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Papua Barat terdiri atas Gubernur, Ketua Majelis Rakyat Papua, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua Barat, panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.

(6)  Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diketuai oleh gubernur.

Pasal 7

(1)  Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b melalui:

  1. musyawarah perencanaan pembangunan provinsi; dan
  2. rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi serta penyelesaian berbagai permasalahan.

(2)  Musyawarah perencanaan pembangunan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan.

(3)  Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun.

(4)  Pemerintah kabupaten/kota yang dengan sengaja tidak ikut serta dalam pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8

(1)  Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antarpemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c melalui rapat kerja yang mencakup:

a.   penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota;

b.   pelaksanaan kerja sama antarkabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan; dan

c.   penyelesaian perselisihan antarkabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.

(2)  Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai kebutuhan.

Pasal 9

(1)  Gubernur dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d melalui:

  1. pemberian fasilitasi dan konsultasi penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
  2. pemberian fasilitasi dan konsultasi pengelolaan kepegawaian kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
  3. penyelesaian perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antarkabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; dan
  4. upaya penyetaraan kualitas pelayanan public antarkabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.

(2)  Gubernur dalam melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d melalui:

  1. pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
  2. pengawasan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota;
  3. usul pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri; dan
  4. pengawasan kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota.

Pasal 10

(1)  Dalam menyelesaikan perselisihan antarkabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c gubernur melakukan langkah antara lain:

  1. persuasi dan negosiasi; dan
  2. membangun kerja sama antardaerah.

(2)  Perselisihan antarkabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup antara lain:

  1. perbatasan antarkabupaten/kota;
  2. sumber daya alam antarkabupaten/kota;
  3. aset;
  4. transportasi;
  5. persampahan; dan
  6. tata ruang.

Pasal 11

Dalam menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, gubernur melakukan:

  1. penetapan kriteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah;
  2. pemantauan situasi dan kondisi daerah dengan criteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan;
  3. evaluasi situasi dan kondisi daerah dengan criteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan;
  4. koordinasi dengan aparat keamanan yang terkait untuk mengatasi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan;

dan

  1. pelaporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mengenai situasi dan kondisi daerah dengan criteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan.

Pasal 12

Dalam menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan membangun kehidupan demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, gubernur melakukan upaya:

a.   memelihara dan mempertahankan ideologi Pancasila;

b.   pengembangan demokrasi;

c.   menjaga kerukunan antarumat beragama; dan

d.   melestarikan nilai sosial budaya.

Pasal 13

Dalam memelihara stabilitas politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g, gubernur melakukan:

  1. penetapan kriteria stabilitas politik sesuai dengan situasi dan kondisi daerah;
  2. pemantauan situasi dan kondisi daerah sesuai dengan kriteria stabilitas politik;
  3. evaluasi situasi dan kondisi daerah sesuai dengan criteria stabilitas politik;
  4. koordinasi dengan aparat keamanan yang terkait untuk memelihara stabilitas politik; dan
  5. pelaporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mengenai situasi dan kondisi daerah sesuai dengan criteria stabilitas politik.

Pasal 14

Dalam menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf h, gubernur melakukan:

  1. identifikasi etika dan norma yang hidup, berkembang, dan perlu dipertahankan di wilayah provinsi yang bersangkutan; dan
  2. membangun etos kerja penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan etika dan norma sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Pasal 15

Dalam melaksanakan koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf i, gubernur melakukan:

  1. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan kepada pemerintah daerah provinsi;
  2. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya; dan
  3. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari pemerintah daerah provinsi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya.

Pasal 16

Gubernur sebagai wakil Pemerintah memberikan informasi tentang kebijakan Pemerintah dan instansi vertikal di provinsi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi.

Pasal 17

(1)  Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), secara operasional gubernur dibantu oleh sekretaris gubernur.

(2)  Sekretaris gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara ex officio dijabat oleh sekretaris daerah provinsi.

(3)  Sekretaris gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibantu oleh sekretariat dan tenaga ahli.

Pasal 18

(1)  Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dipimpin oleh kepala sekretariat.

(2)  Susunan organisasi dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat persetujuan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

BAB IV

KEDUDUKAN KEUANGAN

Pasal 19

(1)  Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui mekanisme dana dekonsentrasi.

(2)  Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Dalam Negeri.

(3)  Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dilimpahkan, dibebankan pada anggaran kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan melalui mekanisme dana dekonsentrasi.

(4)  Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.

(5)  Pengelolaan dana dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

BAB V

PERTANGGUNGJAWABAN

Pasal 20

(1)  Dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah, gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

(2)  Pertanggungjawaban gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir dalam bentuk laporan pelaksanaan tugas gubernur sebagai wakil Pemerintah.

(3)  Pedoman laporan pelaksanaan tugas gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

(4)  Evaluasi mengenai laporan gubernur sebagai wakil Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden setiap tahun dengan melibatkan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 28 Januari 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 28 Januari 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 25

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 19 TAHUN 2010

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR

SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI

I.    UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah dilaksanakan melalui asas dekonsentrasi.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah memiliki peran yang sangat kuat dalam menjaga kepentingan nasional dan Pemerintah memiliki kewenangan untuk menjamin bahwa kebijakan nasional dapat dilaksanakan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu penyelenggaraan pemerintahan daerah harus mengikuti norma, standar, prosedur, dan criteria yang ditentukan oleh Pemerintah. Penyerahan urusan pemerintahan yang sebagian besar diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota menuntut Pemerintah untuk memastikan bahwa kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan tersebut sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan posisi gubernur selaku kepala daerah provinsi sekaligus berkedudukan sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi.

Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, gubernur memiliki tugas dan wewenang: a) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b) koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; dan c) koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Di samping pelaksanaan tugas tersebut gubernur sebagai wakil Pemerintah mempunyai tugas: a) menjaga kehidupan berbangsa, bernegara dalam rangka memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b) menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan kehidupan demokrasi; c) memelihara stabilitas politik; dan d) menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Pengaturan mengenai tata cara yang lebih jelas dalam memperkuat peran gubernur sebagai wakil Pemerintah untuk melaksanakan pembinaan, pengawasan, koordinasi, dan penyelarasan kegiatan pembangunan di daerah akan dapat mengurangi ketegangan yang selama ini sering terjadi pada hubungan antara bupati/walikota dan gubernur di daerah. Perbedaan dalam memahami pola hubungan antarkedua tingkatan pemerintahan di daerah tersebut cenderung mempersulit koordinasi dan sinergi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di tingkat kabupaten/kota. Pengaturan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah juga diperlukan agar gubernur dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan konflik yang terjadi di antara kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Penguatan fungsi gubernur sebagai kepala daerah sekaligus sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi juga dimaksudkan memperkuat hubungan antartingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah, maka hubungan antara gubernur dengan bupati/walikota bersifat bertingkat, dimana gubernur dapat melakukan peran pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.  Sebaliknya bupati/walikota dapat melaporkan permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam hubungan antarkabupaten/kota. Di samping itu penguatan peran gubernur sebagai kepala daerah akan dapat memperkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakan desentralisasi terhadap fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di daerah.

II.   PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “mengevaluasi” adalah melakukan penilaian terhadap rancangan peraturan daerah apakah rancangan peraturan daerah tersebut telah sesuai dengan kepentingan umum dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” dalam ketentuan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” dalam ketentuan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Fasilitasi dan konsultasi dilakukan dalam rangka untuk keserasian program pengembangan kapasitas pegawai antardaerah dan efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5107

PP_50_Tahun_2007 kerja sama antar daerah

POLITIK HUKUM TERHADAP KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH BAGI TENAGA KERJA INDONESIA (LEGAL POLICY ON LOCAL GOVERNMENT AUTHORITY FOR INDONESIAN MIGRANT WORKERS)

telah dipresentasikan dalam

IN INTERNATIONAL GRADUATE STUDENT CONFERENCE

POSTGRADUATE SCHOOL GADJAH MADA UNIVERSITY

1-2 Desember 2009, YOGYAKARTA


Pendahuluan

Tulisan ini berisi suatu deskripsi mengenai ketentuan-ketentuan terkait dengan kewenangan pemerintah daerah bagi tenaga kerja Indonesia (selanjutnya disebut TKI), dalam perspektif politik hukum. Permasalahan utama adalah bagaimana kejelasan hukum yang terkait dengan perlindungan TKI yang harus menjadi bagian dari kewajiban pemerintah daerah. Sebagai pendekatan, beberapa pertanyaan hendak dikemukakan sebagai berikut:

  • Bagaimana deskripsi politik hukum yang berpengaruh terhadap bagian dari kewajiban pemerintah daerah?
  • Bagaimana substansi ketentuan yang berkaitan dengan peran pemerintah daerah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak TKI?
  • Bagaimana pokok-pokok pikiran sebagai rekomendasi yang dapat ditawarkan dalam rangka optimalisasi peran pemerintah daerah ketika berurusan dengan TKI asal daerahnya?

Fokus dalam tulisan ini adalah kajian terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri- (selanjutnya disebut UUPTKILN). Kajian yang lebih jauh akan diperlukan sebagai upaya telaah yang lebih komprehensif. Dapat saja terjadi kesalahan analisa yang oleh penulis sangat harapkan untuk mendapatkan suatu koreksi dan verifikasi.

Perspektif Politik Hukum

Soedarto memberikan pengertian mengenai politik hukum, yaitu  “… kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan” (Amrullah, 2007). Dari definisi tersebut penulis dapat mengemukakan bahwa pertama, politik hukum merupakan instrumen bagi para pembuat kebijakan mengenai bagaimana mengarahkan cara pencapaian suatu tujuan. Kedua, instrumen tersebut dibentuk dalam peraturan perundang-undangan. Ketiga, kebijakan tersebut harus merepresentasikan kepentingan masyarakat. Dengan demikian akan tampak titik temu dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, di antaranya partisipasi masyarakat, yang dapat diakomodasi dalam politik hukum. Dalam hubungannya dengan hak-hak asasi TKI, dapat dimengerti jika Mette Kjoer dan Klavs Kinnerup mengatakan bahwa secara konseptual akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan akan sejalan dengan hak asasi manusia (Alfredsson, 2002)

Berdasarkan hal tersebut, maka politik hukum sebagai arah sistem hukum nasional harus memberikan arahan bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan oleh para penyelenggara pemerintahan dari pusat dan sampai satuan pemerintahan yang lebih rendah. Kebutuhan akan peran pemerintahan lokal tersebut diperkuat oleh suatu pemahaman mengenai paradigma negara kesejahteraan, yang menghendaki campur tangan negara di segala bidang kehidupan masyarakat (Rahardjo, 2009).

Peran Pemerintahan Daerah: Kewajiban atau Pilihan?

Pemerintah sebagai personifikasi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebutkan bahwa negara pihak memiliki tiga tingkatan kewajiban terhadap hak asasi manusia, yaitu untuk menghormati (to respect), untuk melindungi (to protect), dan untuk memenuhi (to fulfil) setiap hak. UNFPA mengurai tiga kewajiban tersebut sebagai berikut (Publikasi UNFPA): Pertama, kewajiban untuk menghormati, artinya bahwa negara menahan diri terhadap turut campur pada penikmatan hak seseorang. Kedua, kewajiban untuk melindungi, artinya bahwa negara membentuk hukum yang berisi mekanisme untuk mencegah pelanggaran hak asasi oleh organ negara itu sendiri atau aktor non-negara. Perlindungan ini merupakan jaminan untuk semua orang. Ketiga, kewajiban untuk memenuhi, artinya negara mengambil langkah-langkah aktif yang teriontegrasi dalam institusi-institusi dan prosedur, termasuk mengalokasikan sumber daya supaya masyarakat dapat memungkinkan menikmati hak-haknya. Suatu pendekatan berbasis hak ini mengembangkan para pemangku tugas-tugas untuk mencapai kewajiban-kewajibannya dan meningkatkan para pemangku hak untuk menuntut hak-haknya.

Sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang lebih besar, pemerintahan daerah menjadi ujung tombak pelaksanaan kewajiban tersebut terhadap masyarakat lokal di daerahnya (Perwira, 2009). Dari 109 Pasal yang dimuat dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN, peran Pemerintah Daerah yang sebutkan sebagai berikut:

1. Tugas, tanggung jawab, dan kewajiban pemerintah

Pada Pasal 5 ayat (1) menyebutkan, “Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri”. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) menentukan “Pemerintah dapat melimpahkan sebagian wewenangnya dan/atau tugas pembantuan kepada pemerintah daerah (cetak tebal penulis) sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

2. Perjanjian kerja

Pasal 38 ayat (1) mengharuskan kepada Pelaksana Penempatan TKI swasta untuk membuat dan mendatangani perjanjian penempatan dengan pencari kerja yang telah dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi dalam proses perekrutan. Dalam hal ini peran Pemerintah daerah Kabupaten/Kota, melalui instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, adalah untuk a) mengetahui  perjanjian penempatan kerja itu (ayat (2)); b) menerima laporan perjanjian penempatan dari pelaksana penempatan TKI swasta (Pasal 54 ayat (1)); c) menyaksikan penandatanganan perjanjian kerja (Pasal 55 (3)).

Ketentuan yang menyangkut tentang perjanjian kerja ini sangat perlu jika konsekuen dalam pelaksanaannya. Hal ini terkait dengan suatu fenomena bahwa para calon TKI banyak yang belum memiliki perjanjian kerja yang harus mereka pelajari terlebih dahulu sejak pra penempatan (Aritonang, 2006). Bahkan menurut Aritonang, di antara mereka baru memperoleh naskah perjanjian kerja ketika akan berangkat. Tidak sedikit pula yang tidak betul-betul memahami perjanjian tersebut.

3. Pemberangkatan

Pasal  85 ayat (2) mengatur, “Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah”. Ketentuan ini menempatkan pemerintah daerah sebagai institusi yang turut terkena akibat atas suatu permasalahan terhadap pekerja migran. Jika ada masalah, pemerintah daerah harus ikut bertanggungjawab, sementara remitan masuk kepada institusi pemerintah pusat (Lestari, Statemen ATKI tentang Revisi UU No. 39 tahun 2004, publikasi Front Perjuangan Rakyat,).

4. Pengawasan

Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 92). Sebagai tindak lanjut dari ketentuan ini, Instansi yang melaksanakan pengawasan tersebut wajib melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yang ada di daerahnya sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya kepada Menteri (Pasal 93 ayat (1)). Dalam ketentuan tersebut tidak ditegaskan apakah penyelenggaraan penempatan yang dimaksud diartikan mulai dari pra penempatan, penempatan, dan purna penempatan, atau diartikan secara khusus pada penempatan dalam arti ketika TKI sudah berada di negara tujuan pengiriman. Ketidakjelasan ini berisiko jika diartikan sebagai penempatan dalam arti yang disebutkan terakhir.

Jika demikian, terhadap ketentuan tersebut, tampak beberapa disharmoni dengan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Pemerintah daerah hanya disebut sebagai bagian dari kategori hubungan luar negeri yang bersifat regional dan internasional (Pasal 1 angka 1). Jika pertanggungjawaban dalam rangka melaksanakan pengawasan cukup kepada instansi  yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, adalah masih signifikan. Pertimbangannya adalah bahwa urusan TKI ketika sudah pada masa penempatan di Negara tujuan adalah urusan “G to G” (government to government). Hal ini berdasarkan ketentuan bahwa kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri Pemerintah Republik Indonesia berada di tangan Presiden (Pasal 6 ayat (1)). Walaupun dapat saja Presiden menunjuk pejabat selain Menteri Luar Negeri untuk melaksanakan tugas, tetap harus melalui konsultasi dan koordinasi Menteri Luar Negeri (Pasal 7 ayat (1) dan (2)). Seharusnya yang paling bertanggungjawab dalam hal pengawasan pada masa penempatan adalah kantor perwakilan Indonesia di Negara tujuan, (Pasal 24 ayat (1)). Selain mengatur mengenai kelembagaan dan kewenangan, UU Hubungan Luar Negeri tersebut menegaskan kewajiban perwakilan RI (Pasal 19). Salah satunya adalah untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.  Jika terjadi sengketa antara sesama warga negara atau badan hukum Indonesia di luar negeri, maka Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban membantu menyelesaikannya berdasarkan asas musyawarah atau sesuai dengan hukum yang berlaku (Pasal 20). Lebih tegasnya, dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara (Pasal 21).

Jika Pemerintah daerah diikutsertakan melalui instansi terkaitnya untuk turut dalam pengawasan di Negara tujuan, maka sedikitnya akan terdapat dua risiko. Pertama, terjadi penghamburan anggaran Negara/Daerah untuk memberangkatkan aparat pemerintah daerah untuk berkeliling ke luar negeri dengan mata anggaran pengawasan pelaksanaan penempatan TKI. Pengawasan terhadap penempatan TKI akan terkait dengan hubungan diplomatik antar Negara. Tentunya, aparat pemerintah daerah yang berangkat tidak akan dapat berkapasitas sebagai penentu hubungan diplomatik. Kedua, pencantuman satuan pemerintahan daerah dalam pelaksanaan pengawasan penempatan yang demikian itu akan menjadikan ketentuan ini sebagai hukum yang tidak hidup. Artinya, bahwa ketentuan ini tidak memenuhi asas dapat dilaksanakan.

5. Penyidikan

Terdapat kemungkinan bagi Pemerintah Daerah untuk berperan dalam hal penyidikan tindak pidana (Pasal 101). Walaupun begitu, beberapa hal yang berkaitan dengan tahapan-tahapan migrasi TKI, Pemerintah pusatlah yang memiliki otoritas untuk mengkoordinasikan hal-hal tersebut. Dapat dimengerti, bahwa kemungkinan peranan pemerintah daerah dalam perlindungan TKI maksimal terbatas pada tahap perekrutan, pra pemberangkatan, dan purna penempatan, terutama masa pemulangan dan reintegrasi.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan di atas, pemberian ruang bagi pemerintahan daerah dalam Undang-Undang ini sangat bergantung kepada kehendak politik pemerintah pusat. Kontradiksi antara kewajiban pemerintahan daerah sebagai sub sistem penyelenggara Negara dengan ketentuan-ketentuan tersebut memunculkan suatu ambiguitas: apakah peran pemerintahan daerah terhadap urusan TKI merupakan kewajiban atau pilihan? Di satu sisi pemerintahan daerah memiliki peran yang cukup penting sebagai pelayan publik yang terdekat dengan masyarakat. Di lain pihak, pemerintahan daerah menghadapi batas-batas kewenangan.

Pertama, wacana mengenai perubahan UU No. 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN dipahami oleh sebagian kalangan sebagai isu pergerakan untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Hal ini tampak kontradiktif dengan persepsi Pemerintah mengenai pertimbangan isu perubahan UUPPTKILN, yaitu: (1) untuk melayani kepentingan PJTKI guna mempermudah perijinan supaya dapat menunjang program pencapaian target pengiriman buruh migran Indonesia sebesar satu juta BMI per tahun; (2) mengalihkan perhatian buruh migran Indonesia dari tuntutan atas Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya yang selama ini didesakkan oleh buruh migran Indonesia (Lestari, Statemen ATKI tentang Revisi UU No. 39 tahun 2004, publikasi Front Perjuangan Rakyat,). Tampaknya Pemerintah Indonesia betul-betul khawatir untuk meratifikasi Konvensi tersebut sehubungan dengan konsekuensinya. Jika permasalahan pekerja migran tergolong sebagai fenomena perbudakan, hal tersebut menjadi salah satu yang mewajibkan negara untuk mempertanggungjawabkan atas kelalaian atau pelanggaran dari kewajiban hukum internasional (Rover, 2000). Hal tersebut didukung salah satunya oleh pengamatan Donny Pradana. Menurutnya target pemerintah pada masa SBY-JK dalam hal penempatan tenaga kerja dalah sebesar satu juta per tahun (Donny Pradana WR). Bahkan ditambahkan dalam penjelasan Sri Palupi, pemerintah berniat untuk memberantas percaloan melalui kegiatan pencegahan dan penindakan. Yang terjadi adalah pemerintah hanya menindak para calo yang beroperasi di lapangan, tetapi tidak membangun sistem perekrutan yang mampu menghilangkan peran calo. Padahal peran calo tidak akan pernah hilang selama mayoritas PJTKI masih berdomisili di Jakarta dan pelayanan pemerintah di bidang ketenagakerjaan belum menjangkau sampai ke tingkat desa.

Jika hanya demikian perspektif mengenai pengiriman TKI, hal ini berbeda dengan apa yang telah dilakukan Pemerintah Filipina (Wawa, 2005). Kebijakannya berdasarkan pemikiran bahwa setiap pekerja migran yang dikirim dari Filipina  harus memenuhi kualifikasi pendidikan dan keterampilan yang baik. Lebih dari itu, Pemerintah Filipina  memeriksa kontrak-kontrak beserta upah yang menjadi hak pekrja migran, dan bernegosiasi mengenai hal ini sebagai bagian dari klausul perjanjian penempatan pekerja migran. Filipina mempunyai 100 atase tenaga kerja, sedangkan Indonesia hanya punya dua.

Kedua, tidak satupun urusan mengenai TKI disebutkan secara eksplisit sebagai rangkaian urusan yang didesentralisasikan kepada pemerintahan daerah otonom (Pasal 13 dan 14 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah). Cara kepemilikan urusan oleh pemerintahan daerah dengan cara diberikan oleh pemerintah Pusat seperti ini masih dimungkinkan secara teoritis dalam kerangka negara kesatuan. Kemungkinan tersebut dapat terlihat jika dikuatkan salah satunya oleh Ateng Syarudin bahwa paradigma dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terlepas dari paham kedaulatan negara (Syafrudin, 2009). Dalam paham ini satu-satunya kedaulatan adalah pada pemerintahan Pusat. Namun dengan semakin kompleks dan meningkat pula kebutuhan masyarakat, urusan pemerintahan ada yang dipusatkan dan ada pula yang dipencarkan (Gie, 1995). Berdasarkan pemikiran tersebut, sejauhmana yang dapat dilakukan oleh pemerintahan daerah terkait urusan TKI adalah sebatas urusan pada masa pra penempatan dan purna penempatan. Tentunya hal ini mendasarkan pada prinsip kedekatan pelayanan publik, kesejahteraan, dan upaya pemberdayaan TKI. Ironisnya, pemerintah daerah yang kreatif seperti Kabupaten Banyumas, yang gencar memberantas percaloan dan pemerintahnya memperketat pengawasan terhadap kerja PJTKI (Sri Palupi). Pemerintah Daerah ini harus menghadapi kenyataan bahwa warganya banyak dimutasi ke daerah lain oleh para calo dan PJTKI. Akibatnya, daerah ini menghadapi persoalan peningkatan penempatan buruh migran secara tidak sah, termasuk pemalsuan dokumen. Sedikitnya 70 persen buruh migran dari daerah ini ditempatkan tidak sesuai prosedur.

Kendala-kendala yang tercermin dalam kondisi seperti menurut Sri Palupi seharusnya dapat mendorong pemerintahan daerah untuk membuat peraturan daerah perlindungan buruh migran di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi sehingga tidak ada lagi celah yang dapat dimainkan oleh PJTKI yang kinerjanya buruk. Peraturan daerah semacam ini juga berpeluang untuk mendorong tumbuhnya PJTKI yang berkinerja baik (Sri Palupi). Menyikapi gagasan ini penulis menilai bahwa dengan peraturan daerah seperti inilah, menjadi penting bagi pemerintahan daerah untuk mengatur dalam yurisdikasinya untuk memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak TKI. Walaupun perda semacam ini akan terbatas materi pengaturannya pada masa pra penempatan dan purna penempatan, namun akan bermanfaat untuk mendekatkan pelayanan publik, kesejahteraan rakyat, dan pemberdayaan TKI. Jika berkesinambungan dan konsisten, hal ini akan menjawab salah satu persoalan bahwa TKI ilegal di Malaysia sebetulnya ada di Indonesia (Wawa, 2005). Banyak pihak yang ikut menjadi kontributornya. Misalnya dalam persoalan TKI di Malaysia, aparatur pemerintahan desa, kecamatan, dan imigrasi di daerah transit TKI dengan begitu mudahnya menerbitkan kartu tanda penduduk (KTP) dan paspor bagi pendatang. Ada pula, kepala desa yang dikabarkan berprofesi sebagai calo TKI (Wawa, 2005). Legalitas sebagai pekerja asing seolah hanya nomor terakhir, yang terpenting yang bersangkutan dapat masuk ke Malaysia. Mereka juga tidak peduli, apakah TKI yang dikirim akan diperlakukan secara manusiawi atau tidak. Ditambahkan pula bahwa pada dasarnya, 80 persen pemicu ketertindasan TKI di luar negeri tertanam di Indonesia. Mereka bukan semata-mata calo dan perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), tetapi juga berbagai pihak lain yang ingin memperkaya diri dari ketimpangan tersebut (Wawa, 2005). Bagaimanapun hal ini metampakkan bahwa kemunculan TKI ilegal yang berhubungan dengan kecenderungan praktik trafficking selalu melibatkan aktor, dalam hal ini negara (Obokata, 2006).

Penutup

Kewenangan pemerintahan daerah dalam rangka menjalankan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak TKI berada dalam batas-batas yang tidak dapat dihindari. Batas-batas tersebut di antaranya adalah bahwa urusan otonomi yang diberikan kepada daerah saat ini hakikatnya adalah untuk kemandirian, bukan untuk kemerdekaan (Astawa, 2008). Walaupun demikian, bagaimana daerah dapat menjadi ujung tombak pelayanan publik, demokratisasi, dan kesejahteraan rakyat, harus menjadi bagian dari politik hukum nasional. Dalam konteks perlindungan TKI, tampaknya ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN belum memberikan arahan yang jelas bagi pemerintahan daerah untuk menjalankan perannya. Yang terjadi adalah ambiguitas materi pengaturan yang memungkinkan ketentuan tersebut menjadi tidak efisien atau malah menjadi tidak dapat dijalankan.

Jika demikian halnya, tulisan ini menawarkan setidaknya dua penegasan. Pertama, politik hukum dalam wacana perubahan UUPPTKILN perlu ditekankan kepada perspektif pelaksanaan kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak TKI. Termasuk penting dalam materi perubahan UU ini adalah optimalisasi peran pemerintahan daerah terhadap urusan-urusan yang pelaksanaannya dapat berlokasi di daerah. Sebagai contoh adalah pemeriksaan kesehatan, pelatihan, maupun pengurusan dokumen. Penegasan peran pemerintahan daerah seperti itu tentunya harus sesuai dengan batas-batas kewenangan dalam konteks Negara Kesatuan. Kedua, melalui urusan otonom yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan saat ini, daerah perlu memberdayakan perannya untuk membentuk peraturan daerah, walaupun daya jangkauan materinya terbatas pada masa pra dan purna penempatan TKI. Saat ini terdapat beberapa contoh daerah yang telah memiliki Perda perlindungan TKI, seperti Kabupaten Cianjur dan Blitar, sedangkan beberapa daerah lainnya seperti Kabupaten Cirebon sudah diusulkan untuk menjadi agenda pembahasan antara Pemerintah Daerah dan DPRD setempat.

Tentunya, berbagai uraian dalam tulisan ini masih memiliki berbagai keterbatasan mengenai data maupun ketajaman analisa, sehingga hasilnya belum memuaskan. Hal tersebut tidak terlepas dari suatu kesadaran bahwa permasalahan mengenai TKI serta hubungannya dengan negara adalah tidak sederhana. Untuk itu, ke depan masih diperlukan kajian yang lebih komprehensif. Salah satu tujuannya adalah untuk pengembangan internasionalisasi norma yang terkait  dengan penegakan Hukum HAM pada pekerja migran, yang di antaranya dibutuhkan suatu kebijakan nasional (Lyon, 2006). Selain itu yang lebih penting adalah untuk dapat memberikan perlindungan kongkrit yang optimal bagi TKI.**

Bibliography

Admin Kawan Di Indonesia, P. S. (2008, 11 17). http://www.zonamigran.com/kabar.php?kode=40. Retrieved 10 24 4:52:41 PM, 2009, from http://www.zonamigran.com: http://www.zonamigran.com/kabar.php?kode=40

Alfredsson, G. (2002). Human Rights and Good Governance, Buliding Brigdes. The Hague: Martinus Nijhoff Publisher.

Amrullah, A. (2007). Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan. Malang.

Aritonang, H. (2006, 12 28). Pengamatan Serikat Buruh Migran Indonesia. (I. Junaenah, Interviewer)

Astawa, I. G. (2008). Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia. Bandung: Alumni.

Donny Pradana wr, B. S. (n.d.). http://zonamigran.com/kso.php?id=62&kode=2. Retrieved 05 31 11:14:47, 2009, from http://zonamigran.com: http://zonamigran.com/kso.php?id=62&kode=2

Gie, T. L. (1995). Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Edisi Kedua. Yogyakarta: Liberty.

Junaenah, I. (2002). Pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan Kerjasama Internasional dalam Rangka Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Lestari, E. (Statemen ATKI tentang Revisi UU No. 39 tahun 2004, publikasi Front Perjuangan Rakyat,, 10 22). http://fprsatumei.wordpress.com/2008/10/22/statemen-atki-tentang-revisi-uu-no-39-tahun-2004/ . Retrieved 05 31 11:13:20, 2009, from http://fprsatumei.wordpress.com.

Lyon, B. (2006). New International Human Rights Standards on Unauthorized Immigrant Workers Rights: Seizing an Opportunity to Pull Governments Out of the Shadows. In A. B. (Editor), Human Rights and Refugees, Internally Displaced Persons and Migran Workers (pp. 566-567.). Leiden: Martinus Nijhoff Publishers.

Obokata, T. (2006). Trafficking of Human Being from a Human Rights Perspective, Towards a Holistic Approach,. Leiden: International Studies in Human Rights, Martinus Nijhoff Publishers.

Perwira, I. (2009). Tanggung Jawab Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Bandung: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran.

Publikasi UNFPA, T. H.-B. (n.d.). http://www.unfpa.org/rights/approaches.htm. Retrieved 08 13 9:48:50 AM, 2009, from http://www.unfpa.org: http://www.unfpa.org/rights/approaches.htm

Rahardjo, S. (2009). Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat. Yogyakarta: Genta Publishing, cetakan II.

Rover, C. d. (2000). To Serve and To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sri Palupi, B. M. (n.d.). http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=8727&coid=2&caid=36. Retrieved 05 11:09:46, 2009, from http://www.unisosdem.org: http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=8727&coid=2&caid=36

Syafrudin, A. (Performer). (2009). Pola Hubungan Pusat dan Daerah. Focused Group Discussion, Bandung, Jawa Barat.

Wawa, J. E. (2005). Ironi Pahlawan Devisa . Jakarta: Kompas.

FREIES ERMESSEN DALAM PENANGGULANGAN “KASUS LEUWI GAJAH”

ditulis Pada Tahun 2008

A. Pendahuluan

Dalam tulisan ini dapat dikemukakan suatu rangkuman pemberitaan dari media massa yang akan ditinjau dari konsep freies ermessen dalam Hukum Administrasi Negara.

Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPAS) Leuwi Gajah berlokasi di Kp. Cireundeu, Kelurahan Leuwi Gajah, Kota Cimahi. Lokasi ini difungsikan untuk pembuangan sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung. Pada pertengahan Februari 2005, terjadi longsor di lokasi tersebut yang dikenal dengan kejadian “Longsor TPA Leuwi Gajah”.[1] Luas sawah dan permukiman yang tertimbun diduga lebih dari 18 ha. Sebanyak 143 warga Kp. Cilimus Kabupaten Bandung dan Kp. Pojok Kota Cimahi Tewas. Dalam kesaksian Sudirman,[2] Kepala Dinas Kebersihan Kabupaten Bandung, di hadapan Pengadilan Negeri (PN) Bale Bandung mengatakan bahwa selama ini tidak ada koordinasi antara Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota Bandung mengenai pengelolaan sampah di Kota Bandung. Sampai satu tahun pasca kejadian longsor pun Pemerintah terkait tidak melakukan rehabilitasi atau perbaikan di lahan yang terkena longsor. [3]

Awal Februari 2006 sempat tersiar kabar bahwa TPA Leuwigajah ini akan difungsikan lagi. Perlu berbagai pertimbangan untuk merealisasikan kemungkinan ini, di antaranya mengingat beberapa permasalahan yang belum terselesaikan terutama masalah sosial dan ganti rugi kepada korban. Seiring dengan kabar kemungkinan tersebut, muncul pula aksi penolakan warga atas penggunaan TPA Cicabe, yang dijadikan pengganti TPAS Leuwigajah setelah Jelekong, Ciparay, Kabupaten Bandung. Aksi penolakan ini[4] dilakukan oleh ratusan warga dari tiga rukun warga (RW) di Kelurahan Mandala Jati, Kec. Cicadas Kota Bandung, Minggu (12/2). Untuk rencana TPA jangka panjang, Pemkot Bandung sedang mengkaji pula alternatif tempat wilayah kabupaten. Dua tempat yang direncanakan adalah Desa Babakan Kec. Ciparay, dan Desa Citatah Kec. Cipatat, Kab. Bandung.

B. Pembahasan

Berkaitan dengan pemberitaan di atas dapat dikemukakan kemungkinan penerapan freies ermessen oleh administrasi negara di Daerah Bandung.

  1. 1. Fungsi Bestuurzorg dari Administrasi Negara

Sejak negara turut-serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, maka lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas.[5] Administrasi negara diserahi apa yang disebut oleh Lemaire sebagai ”bestuurszorg”.[6] Dalam bahasa Indonesia berarti penyelenggaraan kesejahteraan umum yang dilakukan pemerintah.[7] Selanjutnya dijelaskan oleh Utrecht bahwa ”bestuurszorg” itu meliputi segala lapangan kemasyarakatan. Peran pemerintah secara aktif untuk turut serta dalam pergaulan manusia  dirasa perlu. Ditekankan lagi oleh Utrecht bahwa dapat dikatakan bahwa adanya ”bestuurszorg” tersebut menjadi suatu tanda yang menyatakan adanya suatu ”welfare State”.

  1. 2. Freies Ermessen Sebagai Salah Satu Landasan Bertindak Administrasi Negara

Diana Halim menjelaskan hal yang berkaitan dengan landasan bertindak administrasi negara dalam suatu Bab yang berjudul ”Landasan Hukum Administrasi Negara”.[8] Dari uraiannya itu dapat dipetakan sebagai berikut:

Dari pemetaan di atas dapat terlihat bahwa freies ermessen merupakan salah satu landasan bagi administrasi negara untuk bertindak dalam rangka perwujudan ”welfare State”. Dari fungsi ”bestuurszorg” sebagai tanda yang menyatakan adanya suatu ”welfare State” diberikannya pouvoir discretionnaire (Perancis) ataupun freies Ermessen (Jerman) kepada administrasi negara untuk melaksanakan fungsi servis publik.

Menurut Andreae sebagaimana yang dikutip oleh Patuan Sinaga,[9] pouvoir discretionnaire atau yang disebut dengan discretionair adalah: menurut kebijaksanaan, menurut wewenang atau kekuasaan; yang tidak seluruhnya terikat pada ketentuan undang-undang. Sementara itu freies Ermessen yang diartikan oleh Diana Halim adalah kemerdekaan bertindak administrasi negara atau pemerintah (eksekusi untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan yang memaksa, di mana peraturan penyelesaian untuk masalah itu belum ada).[10] Kriteria ini mirip dengan persyaratan dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yaitu genting dan memaksa. Menurut Marbun dan Mahfud M.D,[11] tercakup dalam arti freies ermessen ini ialah membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya, atau mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan. Pecakupan yang demikian disebut discretionary power. Dengan diberikannya freies ermessen ini kepada administrasi negara berarti bahwa sebagian kekuasaan yang dipegang oleh dewan perwakilan rakyat, sebagai badan legislatif, dipindahkan kedalam tangan pemerintah, administrasi negara, sebagai badan eksekutif.[12]

  1. 3. Perlunya freies ermessen dalam Pengelolaan Sampah

Berkaitan dengan kasus longsornya TPA Leuwi Gajah, kebijakan sebagai turunan dari Undang-Undang lingkungan hidup yang ada, tidak satupun ditemukan regulasi yang menjelaskan pengendalian permasalahan sampah.[13] Padahal regulasi tersebut dapat menjadi acuan bagi daerah untuk mengelola masalah persampahannya masing-masing. Namun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ditemukan salah satu Pasal yang menyebutkan urusan wajib daerah dalam hal pengendalian lingkungan hidup.

Perda yang dibuat Kabupaten/Kota maupun Provinsi tentang tata ruang juga tidak Pasal yang menyebutkan perihal di mana tempat yang layak untuk dijadikan sarana pengelolaan sampah yang tidak berakibat buruk bagi lingkungan sekitarnya. Maka dari itu perlu aturan khusus yang menangani permasalahan sampah dirasakan sangat mendesak. permasalahan sampah di perkotaan khususnya dihadapkan pada masa sulit. Kejadian longsornya TPA Leuwi Gajah disusul berbagai penolakan warga atas rencana TPA menjadi bukti bahwa persoalan sampah bukan masalah yang sepele.[14]

Terdapat beberapa unsur yang terpenuhi mengenai diperlukannya suatu freies ermessen oleh administrasi negara melalui pejabat pemerintah daerah Kabupaten/Kota Bandung, Kota Bandung, maupun Provinsi Jawa Barat. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

(a)    Fungsi bestuurzorg pada administrasi negara sebagai tanda suatu negara kesejahteraan masih tetap melekat;

(b)    Belum ada peraturan legislasi maupun regulasi yang mengatur tentang pengendalian atau pengelolaan masalah sampah. Adapun dalam bentuk legislasi, disebutkan saat itu masih berupa Rancangan Undang-Undang (RUU).[15]

(c)     Keadaan kegentingan yang memaksa ditunjukkan dengan banyaknya korban dan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi TPA Leuwi Gajah.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, administrasi negara yang terkait dengan kejadian tersebut saat itu hendaknya membentuk peraturan untuk mengatasi kejadian, terutama berkaitan dengan adanya korban dengan menerapkan freies ermessen. Walaupun dapat saja terjadi kemungkinan penyalahgunaan wewenang dengan freies ermessen ini, untuk menghindarinya Patuan Sinaga mengemukakan suatu tolak ukur freies ermessen, yaitu bahwa selama tindakan atas inisiatif sendiri dan administrasi negara memberi atau membawa manfaat bagi kesejahteraan umum, maka tindakan itu dapat ditorelir.[16] Selanjutnya dengan menyitir pendapat Sunaryati Hartono, dikemukakan pula bahwa penerapan freies ermessen tidak boleh mengakibatkan warga masyarakat menjadi kehilangan pekerjaan atau penghidupan yang layak, atau sangat kurang kemampuan dan kemungkinan untuk menikmati penghidupan dan pekerjaan yang baik.

C. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Dalam kejadian longsor TPA Leuwi Gajah, dapat disebut suatu keadaan yang genting dan memaksa;
  2. Berkaitan dengan kejadian ini, belum ada legislasi ataupun regulasi yang menjadi acuan bagi administrasi negara setempat untuk mengatasinya dalam bentuk kebijakan;
  3. Freies ermessen yang akan diterapkan hendaknya masih dalam batas yang dapat ditolerir, yaitu bahwa selama tindakan atas inisiatif sendiri dan administrasi negara memberi atau membawa manfaat bagi kesejahteraan umum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.

E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat, Alumni, Bandung, 1960.

Marbun dkk., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001.

M. Jefri Rohman, Belum Adanya Kebijakan yang Jelas tentang Pengelolaan Sampah, dalam Suara Komunitas Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung: Sulitnya Meraih Keadilan, Perkumpulan Inisiatif, Bandung, 2007.

S.F. Marbun dan Mahfud M.D, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2006.

Media Massa

Pikiran Rakyat, Selasa 14 Februari 2006.

Pikiran Rakyat, Rabu 24 Februari 2006.

Pikiran Rakyat, Jumat 26 Februari 2006.


[1] Pikiran Rakyat, Selasa , 14 Februari 2006.

[2] Pikiran Rakyat., Rabu, 24 Februari 2006.

[3] Surat Pembaca, Pikiran Rakyat, Selasa 14 Februari 2006.

[4] Pikiran Rakyat, Selasa 14 Februari 2006.

[5] E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat, Alumni, Bandung, 1960, hlm.22.

[6] Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan Dengan Pouvoir Discretionnaire Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam Marbun dkk., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001. hlm. 83.

[7] Utrecht, loc.cit..

[8] Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 34-54.

[9] Patuan Sinaga, Hubungan …, op.cit. hlm. 77

[10] Ibid. hlm. 41

[11] S.F. Marbun dan Mahfud M.D, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm. 45.

[12] Utrecht, op.cit., hlm. 25

[13] M. Jefri Rohman, Belum Adanya Kebijakan yang Jelas tentang Pengelolaan Sampah, dalam Suara Komunitas Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung: Sulitnya Meraih Keadilan, Perkumpulan Inisiatif, Bandung, 2007., hlm. 118.

[14] Ibid., hlm. 120

[15] Ibid., hlm. 121.

[16] Patuan Sinaga, Hubungan …, op.cit. hlm. …

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN HUKUM TATA NEGARA

MATA KULIAH : HUKUM TATA NEGARA
KODE MATA KULIAH : ………………………………………………………………………………….
KREDIT : 3 SKS (3 – 0)
SEMESTER : 3 (tiga)/ GANJIL
PENANGGUNGJAWAB MATA KULIAH : Bagir Manan, Rukmana Amanwinata, Kuntana Magnar, Rosjidi Ranggawidjaja,I Gde Pantja Astawa, Indra Perwira, Ali  Abdurahman, , Agus Kusnadi, Susi Dwi Haryanti, Hernadi Affandi, Miranda Risang Ayu, Inna Junaenah, Rahayu Prasetyaningsih.
DESKRIPSI SINGKAT : Mata Kuliah ini membahas mengenai pengertian-pengertian dasar dan asas-asas hukum tata negara, sumber hukum tata negara serta struktur umum organisasi negara (Indonesia).
TUJUAN PENGAJARAN UMUM (TPU) : Setelah menyelesaikan mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan dapat mengetahui, mengerti dan memahami dasar-dasar hukum tata negara Indonesia

NO.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

POKOK BAHASAN

SUB POKOK BAHASAN

WAKTU

DAFTAR PUSTAKA

1. Mengetahui pokok-pokok bahasan dan sistem evaluasi mata kuliah. Pendahuluan Penyampaian kontrak belajar, GBPP, SAP, deskripsi singkat perkuliahan 150 Menit
2. Mengetahui dan memahami peristilahan dan sistematika HTN Peristilahan dan sistematika HTN; 1.  Peristilahan HTN

2.  Staatsrechtswetenschap dan Positiefstaatsrechts

3.  HTN dalam arti sempit; Staatsrecht in enge(re) zin

4.  HTN dalam arti luas : Staatsrecht in ruime(re) zin

5.  Pengertian dan Ruang Lingkup HTN;

6.  Hubungan HTN dengan Ilmu Kenegaraan Lainnya;

150 Menit Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Bab II hlm 22-23;

Usep Ranawidjaja,

Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Bab I hlm 11;

3. Mengenali sumber-sumber HTN Sumber-sumber Hukum Tata Negara 1.  Pengertian Sumber HTN;

2.  Pembagian Sumber HTN (materil dan formal);

3.  Macam-macam Sumber HTN dalam arti formal

– Hukum Tertulis;

– Konvensi Ketatanegaraan;

– Yurisprudensi;

– Doktrin.

150 Menit UsepRanawidjaja;

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Bab III, hlm 44;

Paton,  G.W, hlm 140

Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Bab II, 39-41

4. A. Hukum Tertulis: Jenis Peraturan

  1. Konstitusi/ UUD 1945;
    1. Istilah dan Pengertian;
    2. Hakikat dan Tujuan Konstitusi;
  2. Undang-Undang/Perpu
  3. PP;
  4. Perpres; dan
  5. Perda.

B. Konvensi Ketatanegaraan

  1. Istilah dan Pengertian
  2. Terjadinya Konvensi
  3. Kedudukan Konvensi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
  4. Fungsi Konvensi dalam kaitannya dengan konstitusi
  5. Dasar-dasar Penaatan Konvensi: Contoh-contoh Konvensi

C. Perjanjian Internasional (Traktat): Monisme-dualisme

300 Menit UU No. 10 Tahun 2004

Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Bab II, hlm 41-56;

UU No. 24 Tahun 2000

5. Mengetahui dan Memahami Bentuk, sistem, dan corak  pemerintahan yang berlaku di Indonesia Bentuk, sistem, dan corak  pemerintahan
  1. Bentuk Pemerintahan : Republik dan Monarki.
  2. Sistem Pemerintahan : Parlementer, Presidensial dan Campuran;
  3. Corak pemerintahan : Otokrasi dan Demokrasi.
300 Menit Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Bab VI, hlm 165;

Usep Ranawidjaja,….

C.F. Strong,….

Maurice Duverger,……

Sri Soemantri, Perbandingan….;

6. Mengetahui makna lembaga negara dan mengenali lembaga-lembaga negara di Indonesia Struktur Organisasi Negara di Indonesia; 1.  Pembagian Kekuasaan;

2.  Pengertian lembaga negara;

3.  Jenis lembaga negara;

300 Menit Sri Soemantri, Tentang…;

Bagir Manan, Lembaga..,Bab II-V;

Jimly Asshidiqie, Bab VI, 163-256;

Firmansyah Ariffin, dkk, Bab II, hlm 29

7. Mengetahui dan Memahami demokrasi, sistem kepartaian dan sistem pemilihan Demokrasi dan infrastruktur politik. 1.  Demokrasi;

2.  Sistem Pengambilan Keputusan;

3.  Sistem Pemilihan;

4.  Sistem Kepartaian;

5.  Partai Politik;

6.  Kelompok Penekan;

7.  Kelompok Kepentingan;

8.  Alat Komunikasi Politik;

9.  Tokoh Politik;

300 Menit Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
8. Mengetahui dan Memahami hak-hak dan kewajiban warga negara. Perlindungan Hak-hak Penduduk Indonesia 1.  Pembedaan Penduduk dan Warga Negara;

2.  Asas kewarganegaraan;

3.  Cara-cara memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan;

4.  Pengertian HAM dan Sejarah HAM;

5.  HAM di Indonesia;

6.  Tanggung jawab Negara dalam Konteks Welfare State;

300 Menit Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Bab VII, Bab V, hlm. 291-327

Sudargo Gautama,Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian,

Kurniatmanto, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian,

9. Mengetahui dan Memahami asas-asas penyelenggaran pemerintahan daerah Prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UUD 1945. Otonomi daerah

Hubungan Pusat dan Daerah

150 Menit Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Derah

Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18

Referensi:

  1. Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro
  2. Bagir Manan
  3. C.F.Strong
  4. K.C.Wheare
  5. Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
  6. Sri Soemantri
  7. Usep Ranawidjaja
  1. Achmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Tarsito, Bandung, 1984.
  2. Attamimi, A. Hamid S, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Desertasi Univ. Indonesia, Jakarta, 1990.
  3. Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Armico, Bandung,
  4. __________, Teori dan Politik Konstitusi,…………
  5. __________, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung, 1995
  6. __________, Lembaga Kepresidenan, UII Press, Yogyakarta, 2003
  7. Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung, 1987.
  8. Firmansyah Arifin (et al), Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, Konpress, 2005
  9. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2005
  10. Soerjono Soekanto – Punardi Purbacaraka, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.
  11. Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2006
  12. ___________, Perbandingan (antar) Hukum Tata Negara,
  13. _________, Perihal Kaidah Hukum, Cet. V, Citra Aditya Bakti, 1989.
  14. Paton,  G.W.,Texbook of Jurisprudance, second edition, Oxford  at the Calrendon Press,1951,
  15. Wheare, K.C, Modern Constitution,Oxford Press London, 1960.
  16. Sudargo Gautama,Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian

Kuliah Prof. Bagir Manan MATA KULIAH HUKUM OTONOMI DAERAH

Program S3 Ilmu Hukum

Jumat, 17 Juli 2009

Naskah tidak diedit

Saya ingin jelaskan mengenai pemerintahan daerah dalam UUD sekarang yg berbeda dengan UUD sebelumnya.

Sebelum perubahan:

Ada dalam batang tubuh dan dalam penjelasan. Dikatakan seperti itu karena dalam penjelasan merupakan penjabaran dalam batang tubuh. Misalnya prof supomo menjelaskan bahwa pemerintahn daerah akan dilaksanakan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, kemudian akan dilaksanakan dengan memperhatiakan ….., juga aka nada DPRD. Ini tdk salah, namun memunculkan norma baru yg tdk ada dlm batang tubuh.

Ini, UUD 45 cukup byk hal yg tdk dicantumkan dalam batang tubuh tapi membuat norma tersendiri. Persoalan hokum ada dua:

  1. Fungsi penjelasann adalah menjelaskan, bukan membuat norma baru.
  2. Penjelasan bukanlah norma hokum, maka tdk dpt mengikat.

Tp mengapa prof supmo membuat halk spt itu? Kesan saya, setelah UUD 1945 ditetapkan disadari bahwa hal-hal yg sangat penting tdk ada. Sy ambil contoh “kekuasaan kehakiman adalh merdeka” ini tdk ada, dan ini asasi. Kalo prinsip negara hokum tdk asasi. Mengapa? Karena negara hokum dapat dipahami dlm unsur2 dalam batang tubuh. Meskipun tdk divantumkan, tdk begitu masalah. Misalnya UUD AS tdk mencantumkan bhw AS adl negara hokum, yg penting adalah cirri-cirinya. Sebetulnya dgn itu dianut negara hokum. Tetapi kekuasaan kehakiman yg nmerdeka adalah asasi. Karena dlm teori, merupakan kekuasaan yg paling lemah, shg memerlukan jaminan2 dlm konstitusi.

Itu yg dikatakan dirasakan kurang. Tp ada jg yg berlebih2an. Misalnya ketika menjelaskan mPR diakatakan bhw punya kekuasaan yg tdk tak terbatas. Kalo MPR berkuas penuh maka kekuasaannya mjd tdk terbatas. Jd agak kedengaran sebagai konsep Hobbes. Sedangkan sebetulnya berlebihan krn meskipun MPR melaksanakan kekuasaannya seharusnya memang   terbatas sesuai ketentuan UUD. Yang lainnya adalah menempatkan dekonsentrasi:

  1. Tdk tepat, karena dekonsentrasi bukan persoalan otonomi melainkan persoalan sentralisasi, sudah hakikatnya pemerintah pusat mempunyai kewenangan itu. Ini pengaruh Belanda dan Perancis. Yaitu bahwa dalam satuan pemerintahan daerah, selain unsure desentralisasi ada jg unsure dekonsentrasi. Contoh, gubernur, selain aparat desentralisasi juga aparat dekonsentrasi. Dulu ada lembaga daerah yg bernama sospol, sebagai aparat pusat. Gubernur di Belanda, Provinsi adalah aparat pusat, untuk melakukan kendali terhadap pemerintah2 kotapraja dalam provinsinya itu. Ada perkembangan di belanda, bahwa provinsi punya otonomi tertentu. Di belanda punya tradisi otonomi yang kuat, sebab yg namanya kerajaan belanda lahir dari satuan2 pemerintah yg sudah ada. Bahkan merupakan republik2 sendiri, mereka mandiri. Ketika dijadikan kerajaan belanda, policynya daerah tersebut dibiarkan otonomi. Maka dikatakan otonomi asli. Inggris juga mrpk penyatuan2 satuann pemerintahan yg sdh ada. Jd beda sejarahnya. Pemerintah pusat hanya melakukan semacam koordinasi dan pengawasan terhadap bidang2 yg dipandang perlu.

Sementara perancis, dikenal dengan sistem pemnyelenggaraan pemerintahan yg sgt sentralistik. Sehingga pd dasarnya semua satuan pemerintahan daerah adalah tangan pusat. Dalam perkembangannya, karena cara pemilihan walikota yg punya dewan kota tersendiri, tp unsure pemerintah pusat sangat kuat untuk mengendalikan daerah, yang dikenal dengan nama tutelage (supervision/guardianship). Meskipun ada otonomi tp unsure pemerinta pusat sangat kuat. Sekarang pemerintahan daerah ada dua, yaitu yg disebut department, dan di bawahnya commune.tp ini buan hirarki. Department ini lebih pd alat pusat drpd otonom. Yg namanya prefect (dulu ditiru dari jepang-prefectur). Ada jg dulu arrondishment, jg canton, tp sdh tdk ada. Kepala eksekutifnya prefect tp diangkat oleh pemerintah pusat. Tetapi itulah yg mempengaruhi supomo mengapa dalam penjelasan ada dekonsentrasi karena dalam pikirannya akan ada alat pusat  daerah.

Setelah begitu pelaksanaan kita ada kekacauan juga. Unsure dekonsentrasi di belanda adalah insert di dalamnya, melekat pd gubernur. Pelaksanaan kita kacau, di samping gubernur punya dekon dan desentr, kita buat jg kantor kanwil. Mestinya kalo ada pusat unsurnya di daerah, yg cukup kantor imigrasi diurus oleh daerah.

Akhirnya terjadi duplikasi, ada dinas pariwisasta, dulu ada jg kantor pariswisata. Terjadi segala akibatnya: inefisiensi, pemnborosan dll.

Di AS, local gov….

Di Inggris,  murni pemerintahan daerah adalah otonom. Kalaupun  perlu dioperasikan dari London saja. Begitu Supomo. Ini tdk salah, namun mestinya tdk begitu, karena menimbulkan ekses. Bahkan dalam UU 5/75, orang merasa lebih hebat sebagai alat pusat. Gubernur lebih bangga dengan peran sebagai pemerintah pusat. Ini sudah lebih baik. Ketika tahun 1957 (UU 1/57) lebih parah lagi. Di daerah ada dua pemerintahan. Ada pemerintahan provinsi sebagai alat dekon, ada jg pemerintahan daerah, sebagai alat desent. Sehingga ada dua kepala daerah. Sy ambiul anekdot di jawa barat. Setelah tahun UU itu ada gubernur dan ada juga kepala daerah? Siapa yg berhak tinggal di pakuan? Akhirnya yg tinggal adalah gubernur. Itu contoh kecil.

Kemudian dalam rangka menyadari duplikasi itu, ketika dekrit, presiden mengeluarkan berbagai penpres.

Jaman orba kambuh penyakit lain yaitu lahir kanwil sebanyak-banyaknya.

Ketika kita mengadaka perubahan pasal 18, dalam debat di MPR ada berbagai tenaga ahli. Kita usulkan dekonsentrasi janga dimasukkan. Alasannya;

  1. Sebab ini adalah ttg pemda, sedangkan dekon adalah pem pusat, sehingga otda adalah otonomi dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi ya terserah pemerintahan pusat, kalo dia mau pencarkan kekuasaannya di daerah ya silahkan. Mulai mucul penmyakit kanwil2 itu alasannya karena kita ada kerjaan di daerah ga ada yg ngurus. Maka perlulah kita buat ini. Alas an objektifnya adalah agar dapat mengkoordinasikan berbagai pekerjaan. Kita ke daerah tdk ada yg memperhatikan, ga ada yg ngurus. Kalo ga ada yg ngurus tdk Nampak seperti orangpenting. Yg penting gayanya. Sama sekali tdk anti dekon.
  2. Mengenai otonomi luas. Ini adalah riwayat lama. Sebab jika kita bicara idenya, memang dikehendaki otonomi luas. Misalnya bung hatta sudah nulis otonomi luas. Mulai 1945 sudah menjelma. Misalnya dlm uu 22/48 sudah masuk otonomi luas, yg kemuddian utk Indonesia timur ada uu 44/48. Artinya ini iunheren pd sistem pemerintahan yg dibangun. Persoalan timbul ketika kita menyusun pemerintahan daerah dengan tradisi negeri belanda. Persoalannya adalah dimana otonomi itu? Di provinsi, kabupaten, ato du2nya? Aman yg diutamakan?. Kesannya pd waktu kita setelah usai perang dng belanda, otonomi lebih berat di provinsi.  Bung Hatta, tdk hanya ngritik tp agak marah. Desember 56 shd mengundurkan diri. Dia katakana sebaiknya mestinya otonomi itu di kabupaten. Ini ada pengaruh dari belanda bahwa di provinsi tdk otonom. Alasannya adalah bhw pelanyaann kpd masyarakat yg lbh dekat adalah kabupaten. Kedua, setiap kabupaten berbeda, punya karekteristik.3) konsep partisipasi, demokratisasi. Maka konsekuensinya mestinya di kabupaten, tdk di provinsi. Provinsi cukup melakukan fungsi koordinasi. Pada waktu UU 22/99, ada semacam keinginan agar otonomi di Tk2 lbh banyak. Fungsi di provinsi hy menyangkut yg lntas kabupaten. Tp peumus UU ekstrim. Orang Indonesia pnyabar, tp kalo sdh ekstrem bukan main. Dikatakan bahwa krn setiap kabupaten/kota dan provinsi tdk hirarkis akhirnya dibuat sama sekali tdk ada hubungan dgn provinsi. Yg terjadi adlah bupati diundang dating oleh gubvernur, tdk dating dengan alas an bhw dia bukan bawahannya. UU 32 agak memperbaiki.

ekstrem kedua, DPRD diberi kekuasaan yang sangat besar. Setiap hari gubernur sering dihantui mosi tdk percaya dari DPRD. Tahun 2000 sdh saya tulis, bahwa ptgjwb kpd DPRD bukan kepada parlementer, hanya ngecek.

Kemudian, luasnya sampai mana? Setelah reformasi dirumuskan “pada dasarnya semua kekuasaan penyelengaraan pemerintahan ada di daerah kecuali yang ditetapkan sebagai urusan pusat.” Sehingga termasuk hal2 yg tdk masuk akal, dlm arti yg menyangkut urusan menyangkut nasional, hubungan lintas, misalnya urusan pelabuhan. Padahal pelabuhan tunduk pd hokum nasional bahkan internasional. Tp kabupaten melihat bhw karena melihat banyak masuk kapal, berarti banyak duit. Lalu mereka katakana, ya kita minta duitnya, ga usah urus. Pemerintah pusat keberatan, kalo mau urus, mau ambil duit, harus ada sumber daya, teknologi. Apalagi urusan hubungan udara, kehutanan (harus dilihat secara ekosistem nasional). Tanah misalnya, sy tdk suka tanah diserahkan ke daerah. Mereka katakana kita minta duitnya saja. Padahal tanah harus dilihat secara nasional. Pemda bias diberi hak pengelolaan, dia bias pindahkan, sewakan, dsb. Tdk usah diberi policy kekuasaan. Masa bupati bisa memberikan HPH? Ini yg perlu segera diselesaikan, jg semau-maunya. Kadang berlebihan juga, misalnya DPR yg tdk punya urusan, ikut campur ke urusan hutan, sehingga sekarang banyak yg masuk penjara.

Kemudian konsep lain, sebetulnya diambil dari penjelsan “PENGAKUAN THD LINGKUNGAN MASYARAKAT HUKUM ASLI”. Dulu pernah ada UU ttg des 5/79. Semua di Indonesia harus diubah menjadi desa. Apa2an? Sehingga terjadi menegaskan Jawa menjajah. “ASLI”. Di dlm pasl 18 sengaja dibuat escape close: sepanjang nyata-nyata hidup, tidak bertentangan dengan NKRI.

Dikatakan desa: sedangkan karakteristik pemerintahan asli berbeda2, sehingga timbul masalah. Ya sudah, sekarang orang dapat menamakan semacam desa dengan nama masing-masing: nagari, gampoeng, bukan harus dibubarkan. Lucu sekali orang pusat ini duduk di belakang meja ingin berkuasa. Dulu ada orang depdagri dari insinyur sekarang sduah meninggal: suyamto.

Muncullah keinginan menjalankan pemerintahan daerah berdasarkan hokum adat, yang berhasil papua. Sy katakan di hadapan dekan FH se Indonesia, apakah mata kuiah hokum adat masih perlu? Karena sudah ada hokum nasional. Jika perlu ketika membahas hokum agrarian, apa definisi tertentu. Hokum adat adalah penunjang hokum nasional. Bahkan ada suatu adat di bidang peradilan bahwa  harus ada pengadilan adat meskipun dengan pembatasan. Sy katakana tdk boleh, karena setiap pengadilan harsu ada satu yaitu oleh negara. Tdk boleh dibuat oleh perda harus UU. Bahwa pengadilan diselenggarakan di daerah, penyelenggaranya dalah pusat.

Pemerintahan daerah adalah tentang administrasi negara, ttg eksekutif. Jadi kalo bicara tentang yudikatif, itu kesalahan yg sangat fatal. Dari konsep ilmiah tidak boleh. UU kita menyebutkan bahwa pengadilan adalah pengadilan negara.

Terus: dimungkinkan adanya daerah2 khusus, lahirnya kekhususan papua itu. Aceh diberikan kekhususan, akhirnya UU nya diubah lagi, yaitu UU pemerintahan Aceh. Mulai tahun depan mungkin. Tp PP nya belum dibuat oleh SBY. Sy pikir ini tdk bijaksana, UU nya sdh perintahkan.

Itulah konsep2 dasar yg kalao dijalankan lebih menegaska konsep2 yg dulu ada hanya menambahkan beberapa hal, termasuk ttg bagi hasil: ada DAU, DAK. Sy pernah khawatir ttg ini.

Nanti karena di dalam UU: DAU dan DAK masuk dlm APBN yg setiap trahun disepakati. Sy katakana itu akan menimbulkan korupsi, pemda akan mengupayakan lebih porsinya. Ini bukan ilusi. Jika mau nambah anggaran, mereka harus ngasih, tp bukan suap, apa namanya? Kami kan saling ngerti: orang Indonesia mengenal budi terima kasih. Akibatnya hamper semua gubernur punya gedung perwakilan di Jakarta. Untuk apa? Supaya mereka dapat setiap hari dating ke departemen A, B, C, utk ngurus setiap hari. Harus ada orang, kalo ga ada, ga ada yg ngurus. Entah berapa persen uang habis untu itu. DAU dan DAK memang sangat berarti disbanding dulu. Setelah sampai di daerah kita tdk tahu akan dipake apa? Kadang daerah tdk siap bgmn menggunakannya. Ada bupati rumahnya di hotel bintang lima, tdk ada di papua. Irian itu, Papua, daerah2 belum punya uang apa2, dia dpt 3,5 trilyun. Setelah itu mereka berontak. Ya sudah mau apa lagi, itu fenomena. Sekarang mengapa otonomi itu perlu?

Tadi dikatakan :

  1. Demokratisasi
  2. Pelayanan
  3. Menampung heterogenitas: keberagaman. Perlu diatur secara otonomi, karena kebutuhan  orang papua berbeda dengan orang jabar. Dengan mereka diberi status seperti itu, ereka akan merasa diikutsertakan dalam mengurus dirinya sendiri. Artinya bahwa mereka disebri tanggung jawab. Ada dua persoalan: pertama, jika begitu, dikhawatirkan akan menuntut memisahkan diri. Kedua, konsep lain, justru karena diberi keleluasaan, maka akan merasa dihargai dan akan memelihara. Dicontohkan di afrika, mereka berhenti berontak. Contoh, orang Aceh hanya tunggu waktu sj untuk merdeka. Sy tdk khawatir: apa arti aceh disbanding seluruh Indonesia? Kecemasan berlebih. Kita punya kekuatan yg lebih. Belum ada di dunia ini negara pecah karena otonomi. Justru pecah karena tdk ada otonomi. PRRI permesta berontak karena tdk diberi pembangunan. Pad apenyelesaian aceh ada isu partai local. Ada ketakutan bahwa partai local aka menang. Ternyata tdk menang. Ketika itu rebut, delegasi Indonesia bertanya, tdk ada UUD yg melarang keberadaan partai local. Kita tdk mencemaskan sesuatau yg seharusnya dicemaskan, misalkan kemiskinan.

Ada yg kurang bagus menerapkan UU sekarang, krn politisi kita berpikir ttg kepentingan.

Pertanyaan:

Imamulhadi: otda adaah persoalan administrasi. Apakah pemerenitahan daerah masuk HTN atau HAN?

Jawab:

Otnomi sering disebut sebagai otnomi dakatakan pemencaran kekuasaan pada satuan yg lebih kecil. Digunakan istilah itu krn otonimi bisa bersifat fungssional dan ….

Apa yg diotonomikan? Hak mengurus dan mengatur. Muncul persoalan. Karena ada mengatur, berarti ada fungsi legislasi di daerah. Sy dalam beberapa catatan: meski ada fungsi mengatur namun tdk bersifat legislative.  Ada wewenang itu dilepaskan dalam bentuk delegasi dan atribusi. Supaya tdk ada duplikasi akan adanya pemegang kekuasaan legislative. Sebelumnya dikatakan bahwa otnonomi dan medebewind, daerah dapat jg memuat ketentuan ttg medebewind. Dalam pelaksanaan tugas: kalo tugas otonomi inisiatifnya dating dari daerah itu sendiri. Kalo medebewind inisiatifnya dating dari pusat. Pertanyaannya adalah ini masuk rezim HTN atau HAN?

Pertama kita ketahui bahwa ada yg membeddakan HTN dan HAN secara prinsipil ada yg tdk. Logemann mengatakan: dia katakana HTN dengan HAN tdk ada perbedaan yg prinsipil. HAN adalah HTN yg khusus. HTN ada dalam arti organisatierecht, dia katakana bahwa HTN adalah HTN juga, tetapi HTN khusus. Byzondere staatsrecht.  HTN: staats in rust/state in rest. Sedangkan HAN, adalah staats in beweging/state in moving. Bergerak di bidang apa? Di bidang pemerintahan. Sedangkan HTN umum, dia bias legislative dan eksekutif. Kalo Logemann, HTN juga.

Kita ambiul yg membedakan prinsipil. Dlm buku2, ada buku yg dalam HTN nya memuat  pemda dalam HTN, ada jg dalam HAN. Donner ada buku ttg desenytralisasi. Mazhabnya: perancis memasukkan pemerintahan daearh ke dalam HAN, krn mengenai pemerintahan. Semua administrasi negara masuk dalam HAN. Orang belanda lebih suka penamaan bestuursrecht.

Td dikatakan bhw HTN membahas organisasi negara, sedangkan pemda adalah bagian organisasi negara di tingkat bawah. Kalo bicara organisasi, adalah masuk HTN. Jadi kembali kepada pemngertian dasar HTN yg gampang.

Komentar:

Elit politik local banyak tdk paham:

Jawab:

Di beberapa negara ada lapisan politik dan lapisan administrasi. Lapisan ini sangat dipisahkan, ini tidak saling mencampuri. Lapisan politik hanya di seputar policy, kalangan administrasi melaksanakan. Di AS, tdk jalan, karena kulturnya: jika lapisan politik berganti, semua lapisan di bawahnya berhenti juga.

Sy anjurkan, kita ajak kalangan itu untuk kumpul, diskusi. Kalo tidak, bidiklah administrasinya, untuk pelatihan, dsb. Cuma, politisi kita emang banyak maunya.

Tanya:

Ada perbedaan2, ada fakultas hokum, ada HTN ada HAN, ada Hukum Pemda, Hk. Otda.

Jawab:

Kalo prof. ateng mengatakan bahwa penemaannya “

Kalo saya Hukum Otda karena lebih pendek.

Penting untuk membuat penyeragaman standard.

Tanya:

Salah satu prinsip dalam negara hokum adalah bahwa hokum harus stabil, dan parlemen ¾ waktunya utk membahas UU, tdk melakukan kunjungan, public hearing. Di inggris, memang anggota parlemennya adalah orang yg sudah dewasa.

AS, lebih dari separuh ahli hokum, termuda 40 tahun ke bawah, sebagian besar dewasa. Rata-rata mapan kehidupannya.

Inna Tanya:

Tadi dikatakan bahwa dekonsentrasi adalah instrument pemerintah pusat/instrument sentralisasi. Apakah berarti dalam pembicaraan pemerintahan daerah, dekonsentrasi menjadi tidak lagi relevan?

Cirri dekonsentrasi adalah bahwa dia tidak mandiri. Dia selalu terikat pada satuan pemerintahan di atasnya. Menurut Finner, penyelenggaraan dekonsentrasi hanya sekadar tangan pemerintah pusat.  Dapat saja dekonsentrasi dilaksanakan oleh provinsi. Bahkan ketika bicara perancis, negara tersebut sangat kental dekonsentrasinya.

Perlu ada uniformitas hokum dalam beberapa urusan: pertambangan, kehutanan, tanah. Orang di daerah tidak boleh hanya sekadar penjaga. Misalnya orang akan membuka hutan di daerah, gubernurnya harus tahu.

buat mahasiswa MK Hak Asasi Manusia Semester alih tahun….

mohon maaf, sehubungan dengan ukuran file yang cukup berat, handsout kuliah minggu pertama SAT yang pernah saya janjikan tidak dapat dimuat dalam blog ini, tapi dialihkan pada master yang dapat dicopy di M’tro Stationary, di sebrang masjid Al-Jihad.