Materi tambahan Perkuliahan Ilmu Perundang-undangan

Kelas:

Dosen

Dr. H. Kuntana Magnar, S.H., M.H.

Inna Junaenah

Bagir Manan mengemukakan pula tentang fungsi peraturan perundang-undangan, yang dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu:[1]

  1. Fungsi Internal, adalah fungsi pengaturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, fungsi kepastian hukum.

Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi[2]:

a. Fungsi penciptaan hukum.

Penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum  dilakukan atau terjadi melalui  beberapa cara yaitu melalui putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum.

Di Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum. peraturan perundang-undangan merupakan sendi utama sistem hukum nasional. Pemakaian peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukum nasional karena:

i)  Sistem hukum Indonesia – gebagai akibat sistem hukum Hindia Belandia – lebih menampakkan sistem hukum kontinental yang mengutamakan bentuk  sistem hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).

ii) Politik pembangunan hukum nasional mengutamnakan penggunaan peraturan perundang-undangan sebagai Instrumen utama. Bandingkan dengan hukum yurisprudensi dan  hukum kebiasaan. Hal ini antara lain karena pembangunan hukum nasional yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai instrument dapat disusun secara berencana (dapat direncanakan).

b. Fungsi pembaharuan hukum.

Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen  yang
efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan Sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional  (dibuat setelah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum kebiasaan atau hukum adat. Peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidak
sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.[3]

c. Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum[4]

Pada saat ini, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem
hukum (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem hukum
kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem hukum nasional”.[5]

Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum – terutama sistem hukum yang hidup sebagai satu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat. Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya bergantung pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

c. Fungsi kepastian hukum

Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupaken asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (hendhaving, uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan depat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dan pada hukum kebiasan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written). Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus memenuhi syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain, yaitu:

i)         Jelas dalam perumusannya (unambiguous).

ii)        Konsisten dalam perumusannya -baik secara intern maupun ekstern. Konsisten secara intern mengandung makna bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan sietematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan  bahasa. Konsisten secara eketern, adalah adanya hubungan “harmonisasi” antara herbagrii peraturan perundang-undangan.

iii)       Penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti.
Bahasa peraturan perundang-undangan haruslah bahasa
yang umum dipergunakan masyarakat. Tetapi ini tidak
berarti bahasa hukum tidak penting. Bahasa hukum -baik
dalam  arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus dipergunakan secara ajeg karena merupakan bagian dan upaya menjamin kepastian hukum[6] Melupakan syarat-syarat di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi.


[1] Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, op.cit. hlm. 47.

[2] Ibid. hlm. 17-20.

[3] Bagir Manan, Sleten, Perundang-undangan Indonesia, op.cit. hlm. 6 dst.

[4] Pluralisme hukum harus dibedakan antara pluralisme sistem hukum dan pluralisme kaidah hukum. Di Indonesia terdapat pluralisme  baik pada sistem hukum maupun kaidah hukum. Pluralisme sistem hukum karena berlaku sistem hukum Barat, sistem hukum adat dan lain sebagainya. Pluralisme kaidah hukum misalnya ada perbedaan hukum yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan Luar Jawa-Madura. Pluralisme kaidah hukum dapat terjadi dalam satu sistem hukum, karena kebutuhan tertentu.

[5] Bagir Manan, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional, Makalah, Jakarta, 1994, hlm. 6 dst.

[6] Reed Dickerson, op.cit. hlm.6.

catatan: naskah tidak diedit

Bagir Manan mengemukakan pula tentang fungsi peraturan perundang-undangan, yang dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu:[1]

  1. Fungsi Internal, adalah fungsi pengaturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, fungsi kepastian hukum.

Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi[2]:

a. Fungsi penciptaan hukum.

Penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum  dilakukan atau terjadi melalui  beberapa cara yaitu melalui putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum.

Di Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum. peraturan perundang-undangan merupakan sendi utama sistem hukum nasional. Pemakaian peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukum nasional karena:

i)  Sistem hukum Indonesia – gebagai akibat sistem hukum Hindia Belandia – lebih menampakkan sistem hukum kontinental yang mengutamakan bentuk  sistem hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).

ii) Politik pembangunan hukum nasional mengutamnakan penggunaan peraturan perundang-undangan sebagai Instrumen utama. Bandingkan dengan hukum yurisprudensi dan  hukum kebiasaan. Hal ini antara lain karena pembangunan hukum nasional yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai instrument dapat disusun secara berencana (dapat direncanakan).

b. Fungsi pembaharuan hukum.

Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen  yang
efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan Sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional  (dibuat setelah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum kebiasaan atau hukum adat. Peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidak
sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.[3]

c. Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum[4]

Pada saat ini, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem
hukum (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem hukum
kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem hukum nasional”.[5]

Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum – terutama sistem hukum yang hidup sebagai satu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat. Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya bergantung pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

c. Fungsi kepastian hukum

Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupaken asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (hendhaving, uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan depat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dan pada hukum kebiasan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written). Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus memenuhi syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain, yaitu:

i)         Jelas dalam perumusannya (unambiguous).

ii)        Konsisten dalam perumusannya -baik secara intern maupun ekstern. Konsisten secara intern mengandung makna bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan sietematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan  bahasa. Konsisten secara eketern, adalah adanya hubungan “harmonisasi” antara herbagrii peraturan perundang-undangan.

iii)       Penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti.
Bahasa peraturan perundang-undangan haruslah bahasa
yang umum dipergunakan masyarakat. Tetapi ini tidak
berarti bahasa hukum tidak penting. Bahasa hukum -baik
dalam  arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus dipergunakan secara ajeg karena merupakan bagian dan upaya menjamin kepastian hukum[6] Melupakan syarat-syarat di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi.

  1. Fungsi Eksternal, adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan demikian, fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai pertimbangan yang sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat dibedakan:[7]
    1. Fungsi perubahan

Telah lama  di kalangan pendidikan hukum diperkenalkan fungsi perubahan ini yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan (law as social engineering).[8] Peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk  untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal” dapat didorong menuju masyarakat “parental” melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.

  1. Fungsi stabilisasi

Peraturan perundang-undangan dapat pula berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan perundang-undangan di bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan adalah kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjami stabilitas masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula mencakup kegiatan ekonomi, seperti pengaturan kerja, pengaturan tata cara perniagaan dan lain-lain. Demikian pula di lapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula berfungsi menstabilkan sistem soeial budaya yang telah ada.

c.  Fungsi kemudahan

Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan
sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas).
Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan insentif seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya, peraturan kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan seperti disebutkan di atas diperlukan juga persyaratan lain seperti stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.


[1] Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, op.cit. hlm. 47.

[2] Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, op.cit., hlm. 17-20.

[3] Bagir Manan, Sleten, Perundang-undangan Indonesia, Makalah, Jakarta, 1993, hlm. 6 dst.

[4] Pluralisme hukum harus dibedakan antara pluralisme sistem hukum dan pluralisme kaidah hukum. Di Indonesia terdapat pluralisme  baik pada sistem hukum maupun kaidah hukum. Pluralisme sistem hukum karena berlaku sistem hukum Barat, sistem hukum adat dan lain sebagainya. Pluralisme kaidah hukum misalnya ada perbedaan hukum yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan Luar Jawa-Madura. Pluralisme kaidah hukum dapat terjadi dalam satu sistem hukum, karena kebutuhan tertentu.

[5] Bagir Manan, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional, Makalah, Jakarta, 1994, hlm. 6 dst.

[6] Reed Dickerson, op.cit. hlm.6.

[7] Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, op.cit, hlm. 21-22.

[8] Ajaran ini berasal dari Roscoe Pound. Di Indonesia dipopulerkan oleh Prof. Mochtar Kusuaatmadja.